This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday 24 August 2011

Tuntunan Makan Sahur

     Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadis dari ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Perbadaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim). Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani)
     Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadis Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallhu ‘anhu, ia berkata, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttaqun ‘alaih) Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat menjelang adzan Shubuh adalah tidak tepat karena dalam ajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama) maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih) Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.

     Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
     Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnu Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Makan sahurlah karena sesungguhnya makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
     Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik sahur seseorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, dan Ibnu Hibban, Al-Baihaqi).
    Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit. Firman Allah subhanallahu wata’ala, “Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar …..” (Al-Baqarah: 187)
(Dikutip dari Buletin Baitul Izzah Edisi 07 Tahun 3)

Adab Berbuka Puasa

     Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan, “Para sahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbukanya dan yang paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya) Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun diwaktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)
     Buka puasa dilakukan dalam keadaan mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan cara lainnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
     Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radhiyallhu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban) Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radhiayallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
     Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasai) Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi)
    Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Magrib, berdasarkan hadis Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbuka puasa sebelum shalat (Magrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Magrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, Ad-Daruquthni)
     Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa, “Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah subhanallahu wata’ala.” (HR. Abu Dawud, An-Nasai)
(Dikutip dari Buletin Baitul Izzah Edisi 07 Tahun 3)

Puasa dan Pembaruan Manusia

     Inti dari ibadah puasa Ramadhan yang kita laksanakan adalah pengendalian diri dari berbagai hal dan perilaku yang dapat membatalkan puasa maupun menghapuskan pahala puasa, dengan harapan diakhir Ramadhan kita dapat meraih derajat orang bertaqwa dan kembali menjdi fitri. Tentunya nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah puasa juga dapat dilaksanakan dengan konsisten pada bulan-bulan berikutnya. Inilah makna puasa yang sesungguhnya.
     Dalam konteks ini, ibadah puasa merupakan cara melakukan pembaruan, baik mental, jasmani, maupun rohani yang dapat dilaksanakan oleh pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa secara kolektif. Pembaruan mental yang dimaksud adalah tumbuhnya mental-mental pejuang yang dapat mengalahkan berbagai macam rintangan dan godaan. Orang yang berpuasa dengan benar, misalnya, akan menahan lapar dan dahaganya, meskipun ia memiliki kesempatan untuk membatalkannya ketika tidak ada orang yang melihat. Namun berpuasa mengajarkan manusia untuk jujur kepada dirinya dan menyadari betapa Allah mengawasinya. Karenanya Allah mengatakan dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya puasa seorang anak Adam adalah untuk-Ku. Dan  Aku yang akan memberikan balasannya.”

     Selain itu, pembaruan mental lainnya adalah tumbunhnya semangat saling membantu dan egaliter. Berpuasa mengikis rasa egois dan individualistis. Sebaliknya, puasa justru akan menumbuhkan rasa solidaritas serta kesetiakawanan. Dalam konteks kehidupan sebagai bangsa, pemimpin dan wakil rakyat yang berpuasa dengan benar semoga akan memiliki keberpihakan yang lebih jelas kepada rakyat yang memilihnya dan mereka dapat membuang jauh-jauh sifat untuk mementingkan pribadi atau kelompok, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan pembaruan jasmani adalah lahirnya pribadi-pribadi yang memiliki kesehatan yang prima. Berpuasa, sebagaimana dikatakan para pakar kesehatan, dapat meingkatkan kesehatan dan vitalitas. Dengan berpuasa, maka kita memberikan kesempatan kepada tubuh untuk melakukan metabolisme secara sempurna. Menyangkut pembaruan rohani, dengan berpuasa dapat melahirkan pribadi-pribadi yang bertaqwa. Ini, sebagaimana Allah SWT firmankan, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Qs. Al-Baqarah: 183).
     Pribadi yang bertaqwa akan melahirkan pribadi-pribadi yang berakhlak mulia dan bermoral. Inilah bekal terbaik dalam mewujudkan masyarakat dan bangsa yang beriman dan bermoral, sehingga dapat mengundang keberkahan Allah. Allah SWT berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS 7:96)
(Dikutip dari Buletin Baitul Izzah Edisi 07 Tahun 3)

Manusia Baru Pasca Ramadhan

     Esensi Ramadhan bukan sekedar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, dan sanak saudara lainnya. Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal lebih bermakna. Betapa indahnya jika “manusia baru” yang lahir pasca Ramadhan itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu syarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya.
     “Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi dan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. “Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga “manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses liminalitas itu. Para “manusia baru” dari kalangan ibu-ibu kian arif menjaga mulut agar para suami tidak terjebak banalisasi korupsi. Para “manusia baru” yang ibu-ibu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip.
     Dimensi horizontal dari ibadah puasa Ramadhan inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi kualitas tingginya iman dan taqwa.
     Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
     Alangkah indahnya jika kesalehan sosial kian menebal pasca Ramadhan. Dari beberapa ciri saja bisa dibayangkan masyarakat yang terbangun dari ketebalan kesalehan sosial itu. Mereka paham aturan main sebenarnya sehingga hidup lebih displin dan tidak main terabas. Mereka paham makna kerja keras bukan bernafsu meraih kesenangan dengan cara secepatnya, korupsi misalnya. Mereka menempatkan perbedaan sebagai landasan hidup harmonis, bukan pemicu konflik.
     Itulah “manusia baru” yang diharapkan lahir pasca Ramadhan. Jika ibadah sepanjang bulan Ramadhan tidak melahirkan “manusia baru”, maka Ramadhan hanya membangun kesalehan ritual, tanpa kesalehan sosial. Rugilah mereka yang melewatkan Ramadhan demi kesalehan ritual belaka dan merayakan hari kemenangan menjadi semu belaka.
(Dikutip dari Buletin Baitul Izzah Edisi 07 Tahun 3)

Ramadhan Melahirkan Manusia Baru

     Bulan Ramadhan selama ini dikenal sebagai bulan peningkatan ibadah (syahrul ibadah). Artinya, mereka yang menjalankan ibadah puasa dan rangkaian ibadah lain selama bulan suci Ramadhan diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Berbagai janji ‘bonus’ telah tebarkan untuk hambanya-Nya yang menjalankan ibadah selama bulan suci ini, namun kita tahu tidak semua dapat meraih ‘bonus’ itu bahkan banyak yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali rasa lapar saja, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya, kecuali hanya tidak tidur malam saja.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
     Sabda Rasulullah ini menyiratkan makna, betapa banyak mereka yang telah menjalankan ibadah puasa namun tidak mampu memahami hakekat sesungguhnya ibadah puasa. Mereka menahan lapar dan dahaga tetapi tidak menangkap roh sejati dari perintah untuk lapar dan dahaga itu. Padahal Allah dengan tegas telah menyatakan bahwa tujuan akhir dari pelaksanaan puasa ibadah puasa adalah meraih derajat ketaqwaan. “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Qs. Al-Baqarah: 183).

     Untuk menjadi manusia bertaqwa tentu tidak cukup hanya dengan menahan lapar dan dahaga saja. Dibutuhkan peningkatan kualitas dalam segala aspek kehidupan yang berkaitan dengan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu puasa Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk berubah menjadi manusia baru yang lebih dekat menuju kesempurnaan taqwa. Bulan suci Ramadhan seharusnya menjadi Syahrul Tarbiyah atau Bulan Pendidikan untuk mendidik mereka menjadi manusia baru yang memenuhi syarat sebagai manusia bertaqwa.
     Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Umar bin Khatab bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang taqwa. Ubai balik bertanya, “Apakah Anda pernah melewati jalan yang banyak durinya?” “Pernah” Jawab Umar. Ubai bertanya kembali, “Bagaimana ketika Anda melewatinya?” Umar menjawab, “Saya bersungguh sungguh serta berhati-hati sekali supaya tidak kena duri.” Ubai akhirnya mengatakan, “Itulah arti Taqwa yang sebenar-benarnya.” Bila mengacu pada atsar Umar ra tersebut, maka puasa Ramadhan akan melahirkan manusia baru yang selalu berhati-hati dalam kehidupannya. Mereka adalah manusia bertaqwa yang bersungguh-sungguh menjauhi segala larangan Allah dan berhati-hati supaya tidak terjerumus di dalamnya. Mereka adalah manusia yang konsisten berjalan di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
     Ramadhan juga akan melahirkan manusia baru yang tidak saja semakin dekat kepada Allah, tetapi juga manusia baru yang lebih mencintai sesama, berakhlak mulia, dan selalu menjaga perilakunya. Rasulullah SAW ketika ditanya tentang sebab yang paling banyak yang memasukan manusia ke surga, beliau menjawab, “Ketaqwaan kepada Allah dan Akhlak yangh baik.” Beliau ditanya lagi, “Apa penyebab banyak manusia masuk neraka?” Rasulullah SAW menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban) Rasulullah juga bersabda, “Kemulian dunia adalah kekayaan dan kemulian akhirat adalah ketaqwaan. Kamu baik laki-laki maupun perempuan, kemulianmu adalah kekayaanmu, keutamaanmu adalah ketaqwaanmu, kedudukanmu adalah akhlakmu dan (kebanggaan) keturunanmu adalah amal perbuatanmu.” (HR. Ad-Dailami)
     Manusia baru yang lahir dari proses pendidikan selama Ramadhan seharusnya juga memahami bahwa ketaqwaan itu harus dijaga dan dipelihara sepanjang hidup. Mengapa? Karena hal itu akan mengantarkannya menuju ampunan dosa, mendapat furqaan, dan menuju kemuliaan akhirat, sebagaimana dijanjikan Allah, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Al-Anfaal: 29) Mari menjadi manusia yang bertqawa.
(Dikutip dari Buletin Baitul Izzah Edisi 07 Tahun 3)

Friday 19 August 2011

Menggapai Lailatul Qadar

     Pada akhir sepuluh Ramadhan biasanya kaum muslimin hiruk pikuk dengan persiapan lebaran. Hal ini yang biasanya membuat ibadah kita sering terabaikan. Padahal diwaktu itu Allah memerintahkan kita semakin giat beribadah karena pada malam harinya diturunkan malam yang sangat istimewa, yaitu Lailatul Qadar.
     Lailatul Qadar adalah salah satu dari malam-malam bulan Ramadhan yang disebutkan dalam dua surat Al-Quran. Dalam surat Ad-Dukhan Allah menyifatkannya dengan malam yang mendatangkan keberkahan (lailah mubarakah) yang di dalamnya diselesaikan segala urusan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) di malam yang penuh keberkahan. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang memberi peringatan. Di dalamnya diselesaikan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan 3-6).
     Dalam surat Al-Qadar Allah menyifatinya dengan sifat yang mulia, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malaikat turun di dalamnya. Dan malam itu merupakan salam (kesejahteraan) bagi umat manusia. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Malam Kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan. Malam Kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar 1-5).

     Karena keistimewaan malam itu, Rasulullah dan para sahabat selalu menghidupkannya dengan banyak mengerjakan ibadah seperti shalat Tahajud, berdzikir, membaca Al-Quran, beri’tikaf, serta memperbanyak shadaqah.
     Demikian juga hal yang sama dilakukan oleh generasi setelahnya. Mereka berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan memenuhi keperluan orang-orang yang memerlukan bantuan dengan menyembunyikan shadaqah-shadaqah mereka hingga tidak diketahui tangan kiri, apa yang diberikan tangan kanan.
     Sebagian hartawan dahulu menyembunyikan dirinya mencari keluarga-keluarga miskin di malam buta. Mereka memberikan segala yang dibawanya kepada keluarga miskin, tanpa dikenal oleh yang menerima pemberian itu. Dia kembali tanpa diketahui siapa dirinya.
     Inilah suatu adab yang tinggi yang sangat baik kita dalam meneladani sikap para ulama kaum muslimin terdahulu.

Keutamaan Lailatul Qadar

     Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa saja yang mengerjakan ibadah di malam Lailatul Qadar karena imannya kepada Allah dan karena mengharapkan keridlaanNya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
     Anas bin Malik Radhiallahuanhu berkata, ”Pada saat bulan Ramadhan masuk, maka Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya bulan ini hadir dihadapanmu. Di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tiada diberi kebaikan malam itu kepadanya, maka ia sungguh diharamkan atas seluruh kebaikan. Dan tidak diharamkan kebaikan, melainkan kepada orang yang tidak diberikan apa-apa.” (H.R. Ibnu Majah).
     Anas bin Malik menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan adalah bahwa amal ibadah seperti shalat, tilawah Al-Quran, dan dzikir serta amal sosial (seperti shadaqah dan zakat), yang dilakukan pada malam itu lebih baik dibandingkan amal serupa selama seribu bulan (tentu di luar malam Lailatul Qadar sendiri). Dalam riwayat lain Anas bin Malik menyampaikan keterangan Rasulullah bahwa sesungguhnya Allah mengkaruniakan malam itu untuk umat Nabi Muhammad, dan tidak memberikannya pada umat-umat sebelumnya.
     Sementara Abdullah bin Abbas ra menyampaikan sabda Rasulullah bahwa pada saat terjadinya Lailatul Qadar, para malaikat turun ke bumi menghampiri hamba-hamba Allah yang sedang qiyam al lail, atau melakukan dzikir. Para malaikat mengucapkan salam kepada mereka.
     Karena malam itu dinamakan juga sebagai lailatus Salam (malam keselamatan). Juga dapat dinamakan lailatus Syaraf (malam kemuliaan) bagi umat islam. Dapat juga dinamakan malam lailatut Tajall, malam dimana Allah melimpahkan cahaya dan hidayah-Nya kepada para ‘abid, shaim, dan orang-orang yang beribadat malam.
     Kemuliaan malam itu tidak saja karena diturunkannya Al-Quran, atau karena orang yang taat pada malam itu menjadi orang-orang yang mulia, tapi juga karena ibadah yang dikerjakan pada malam itu mendapat penghargaan yang luar biasa.
     Dengan banyaknya keutamaan Lailatul Qadar, sehingga Ibnu Abi Syaibah pernah menyampaikan ungkapan al Hasan al Bashri, katanya: “Saya tidak pernah tahu adanya hari atau malam yang lebih utama dari malam lainnya, kecuali Lailatul Qadar, karena Lailatul Qadar lebih utama dari (amalan) seribu bulan.”
     Ada riwayat yang mengatakan, bahwa bilangan Malaikat yang berada di bumi pada malam itu lebih banyak dari pasir dan Allah menerima tobat semua orang yang bertobat pada malam itu. Pada malam itu dibuka segala pintu langit, sejak dari terbenam matahari sampai terbitnya. Jibril turun dengan serombongan malaikat. Lalu mereka mengucapkan panji-panjinya di empat tempat : Pertama di sisi Ka’bah; Kedua, di sisi kubur Rasulullah SAW; Ketiga, di sisi Baitul Maqdis; Keempat, di sisi Mazjid Tursina. Kemudian mereka bertebaran di seluruh pelosok bumi, memasuk rumah orang-orang mukmin sambil bertasbih, bertaqdis, dan memohon ampunan bagi umat Muhammad. (Hasbi As Shiddiqie, Pedoman Puasa, halaman 243)
     Adapun terjadinya malam Lailatul Qadar terjadi khilaf dikalangan ulama. Ibnu Hazm berkata: “Lailatul Qadar sekali saja dalam setahun, tertentu di bulan Ramadhan di puluhan yang akhir dan tertentu di suatu malam yang ganjil. Jika bulan itu 29 hari, maka permulaan puluhan yang akhir, ialah malam 20. Dan malam Lailatul Qadar itu adalah malam 20, adakalanya di malam 22, adakalanya di malam 24, 26, atau di malam 28. Jika bulan itu penuh 30 hari, permulaan puluhan yang akhir ialah malam 21. Maka malam Lailatul Qadar adakalanya di malam 21, 23, 25, 27, atau malam 29.”
     Namun yang pasti malam itu disembunyikan oleh Allah. Menurut para ulama salaf tersembunyinya malam itu agar kita menghidupkan semua malam.
     Telah diriwayatkan dari Aisyah Radhiayallahu ‘anha bahwasanya beliau bertanya :”Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika Aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus Aku ucapkan?” Beliau menjawab “Ya Allah, Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Suka Memaafkan, maka maafkanlah hamba.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad sahih) Semoga kita bisa meraih malam itu.
(Dikutip dari Lembar Jumat al-Qalam)