Wednesday 24 August 2011

Manusia Baru Pasca Ramadhan

     Esensi Ramadhan bukan sekedar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, dan sanak saudara lainnya. Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal lebih bermakna. Betapa indahnya jika “manusia baru” yang lahir pasca Ramadhan itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu syarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya.
     “Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi dan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. “Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga “manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses liminalitas itu. Para “manusia baru” dari kalangan ibu-ibu kian arif menjaga mulut agar para suami tidak terjebak banalisasi korupsi. Para “manusia baru” yang ibu-ibu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip.
     Dimensi horizontal dari ibadah puasa Ramadhan inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi kualitas tingginya iman dan taqwa.
     Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
     Alangkah indahnya jika kesalehan sosial kian menebal pasca Ramadhan. Dari beberapa ciri saja bisa dibayangkan masyarakat yang terbangun dari ketebalan kesalehan sosial itu. Mereka paham aturan main sebenarnya sehingga hidup lebih displin dan tidak main terabas. Mereka paham makna kerja keras bukan bernafsu meraih kesenangan dengan cara secepatnya, korupsi misalnya. Mereka menempatkan perbedaan sebagai landasan hidup harmonis, bukan pemicu konflik.
     Itulah “manusia baru” yang diharapkan lahir pasca Ramadhan. Jika ibadah sepanjang bulan Ramadhan tidak melahirkan “manusia baru”, maka Ramadhan hanya membangun kesalehan ritual, tanpa kesalehan sosial. Rugilah mereka yang melewatkan Ramadhan demi kesalehan ritual belaka dan merayakan hari kemenangan menjadi semu belaka.
(Dikutip dari Buletin Baitul Izzah Edisi 07 Tahun 3)

0 comments:

Post a Comment